Sumber historis, Sosiologis, Dan Politik Tentang Pendidikan Kewarganegaraan
Masih
ingatkah sejak kapan Anda mulai mengenal istilah pendidikan kewarganegaraan
(PKn)? Bila pertanyaan ini diajukan kepada generasi yang berbeda maka
jawabannya akan sangat beragam. Mungkin ada yang tidak mengenal istilah PKn
terutama generasi yang mendapat mata pelajaran dalam Kurikulum 1975. Mengapa
demikian? Karena pada kurikulum 1975 pendidikan kewarganegaraan dimunculkan
dengan nama mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila disingkat PMP. Demikian
pula bagi generasi tahun 1960 awal, istilah pendidikan kewarganegaraan lebih
dikenal Civics. Adapun sekarang ini,
berdasar Kurikulum 2013, pendidikan kewarganegaraan jenjang pendidikan dasar
dan menengah menggunakan nama mata pelajaran PPKn. Perguruan tinggi
menyelenggarakan mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan
Buku
pelajaran dapat menunjang pendidikan kewarganegaraan suatu negara,
mengapa?
Dalam
sejarah kebangsaan Indonesia, berdirinya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908
disepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional karena pada saat itulah dalam diri
bangsa Indonesia mulai tumbuh kesadaran sebagai bangsa walaupun belum menamakan
Indonesia. Setelah berdiri Boedi Oetomo, berdiri pula organisasi-organisasi
pergerakan kebangsaan lain seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, Indische Party, PSII, PKI, NU, dan
organisasi lainnya yang tujuan akhirnya ingin melepaskan diri dari penjajahan
Belanda. Pada tahun 1928, para pemuda yang berasal dari wilayah Nusantara
berikrar menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia, bertanah air, dan berbahasa
persatuan bahasa Indonesia.
Pada
tahun 1930-an, organisasi kebangsaan baik yang berjuang secara terang-terangan
maupun diam-diam, baik di dalam negeri maupun di luar negeri tumbuh bagaikan
jamur di musim hujan. Secara umum, organisasi-organisasi tersebut bergerak dan
bertujuan membangun rasa kebangsaan dan mencita-citakan Indonesia merdeka.
Indonesia sebagai negara merdeka yang dicita-citakan adalah negara yang mandiri
yang lepas dari penjajahan dan ketergantungan terhadap kekuatan asing. Inilah
cita-cita yang dapat dikaji dari karya para Pendiri Negara-Bangsa (Soekarno dan
Hatta).
Akhirnya Indonesia merdeka setelah melalui perjuangan panjang, pengorbanan jiwa
dan raga, pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, melepaskan diri dari penjajahan,
bangsa Indonesia masih harus berjuang mempertahankan kemerdekaan karena
ternyata penjajah belum mengakui kemerdekaan dan belum ikhlas melepaskan
Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Oleh karena itu, periode pasca
kemerdekaan Indonesia, tahun1945 sampai saat ini, bangsa Indonesia telah
berusaha mengisi perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui berbagai cara,
baik perjuangan fisik maupun diplomatis.
Perjuangan mencapai kemerdekaan dari penjajah telah selesai, namun tantangan
untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang hakiki belumlah selesai.
Prof. Nina Lubis (2008),
seorang sejarawan menyatakan
“... dahulu,
musuh itu jelas: penjajah yang tidak memberikan ruang untuk mendapatkan
keadilan, kemanusiaan, yang sama bagi warga negara, kini, musuh bukan dari
luar, tetapi dari dalam negeri sendiri: korupsi yang merajalela, ketidakadilan,
pelanggaran HAM, kemiskinan, ketidakmerataan ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan,
tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, suap-menyuap, dll.”
Dari
penyataan ini tampak bahwa proses perjuangan untuk menjaga eksistensi
negara-bangsa, mencapai tujuan nasional sesuai cita-cita para pendiri
negara-bangsa (the founding fathers),
belumlah selesai bahkan masih panjang. Oleh karena itu, diperlukan adanya
proses pendidikan dan pembelajaran bagi warga negara yang dapat memelihara
semangat perjuangan kemerdekaan, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air.
Upaya
pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun 1945 belum dilaksanakan di
sekolah-sekolah hingga terbitnya buku Civics
pertama di Indonesia yang berjudul Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (Civics) yang disusun bersama oleh Mr.
Soepardo, Mr. M. Hoetaoeroek, Soeroyo Warsid, Soemardjo, Chalid Rasjidi,
Soekarno, dan Mr. J.C.T. Simorangkir. Pada cetakan kedua, Menteri Pendidikan,
Pengadjaran dan Kebudajaan, Prijono (1960), dalam sambutannya menyatakan bahwa
setelah keluarnya dekrit Presiden kembali kepada UUD 1945 sudahsewajarnya dilakukan
pembaharuan pendidikan nasional. Tim Penulis diberi tugas membuat buku pedoman
mengenai kewajiban-kewajiban dan hak-hak warga negara Indonesia dan sebab-sebab
sejarah serta tujuan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Prijono,
buku Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia identik dengan istilah “Staatsburgerkunde” (Jerman), “Civics” (Inggris), atau “Kewarganegaraan”
(Indonesia).
Secara politis, pendidikan kewarganegaraan mulai dikenal dalam pendidikan
sekolah dapat digali dari dokumen kurikulum sejak tahun 1957 sebagaimana dapat
diidentifikasi dari pernyataan Somantri (1972) bahwa pada masa Orde Lama mulai
dikenal istilah:
(1) Kewarganegaraan (1957);
(2) Civics (1962);
(3) Pendidikan Kewargaan Negara (1968).
Pada masa awal Orde Lama sekitar tahun 1957, isi mata pelajaran PKn membahas
cara pemerolehan dan kehilangan kewarganegaraan, sedangkan dalam Civics (1961) lebih banyak membahas
tentang sejarah Kebangkitan Nasional,
UUD, pidato-pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk "nation and character building” bangsa Indonesia.
Pada
awal pemerintahan Orde Baru, Kurikulum sekolah yang berlaku dinamakan Kurikulum
1968. Dalam kurikulum tersebut di dalamnya tercantum mata pelajaran Pendidikan
Kewargaan Negara. Dalam mata pelajaran tersebut materi maupun metode yang
bersifat indoktrinatif dihilangkan dan diubah dengan materi dan metode pembelajaran
baru yang dikelompokkan menjadi Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, sebagaimana
tertera dalam Kurikulum Sekolah Dasar (SD) 1968 sebagai berikut.
“Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila ialah
Kelompok segi pendidikan yang terutama ditujukan kepada pembentukan mental dan
moral Pancasila serta pengembangan manusia yang sehat dan kuat fisiknya dalam
rangka pembinaan Bangsa.
Sebagai alat formil dipergunakan segi pendidikan-pendidikan: Pendidikan
Agama, Pendidikan Kewargaan Negara, pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah
dan Olahraga. Pendidikan Agama diberikan secara intensif sejak dari kelas I
sampai kelas VI dan tidak dapat diganti pendidikan budi pekerti saja.
Begitu pula, Pendidikan Kewargaan Negara, yang mencakup sejarah
Indonesia, Ilmu Bumi, dan Pengetahuan Kewargaan Negara, selama masa pendidikan
yang enam tahun itu diberikan terus menerus. Sedangkan Bahasa Indonesia dalam
kelompok ini mendapat tempat yang penting sekali, sebagai alat pembina cara berpikir dan kesadaran nasional. Sedangkan Bahasa Daerah digunakan
sebagai langkah pertama bagi sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa tersebut
sebagai bahasa pengantar sampai kelas III dalam membina jiwa dan moral
Pancasila. Olahraga yang berfungsi sebagai pembentuk manusia Indonesia yang
sehat rohani dan jasmaninya diberikan secara teratur semenjak anak-anak
menduduki bangku sekolah."
Bagaimana
dengan Kurikulum Sekolah Menengah? Dalam Kurikulum 1968 untuk jenjang SMA, mata
pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara termasuk dalam kelompok pembina Jiwa
Pancasila bersama Pendidikan Agama, bahasa Indonesia dan Pendidikan Olah Raga.
Mata pelajaran Kewargaan Negara di SMA berintikan:
(1) Pancasila dan UUD 1945
(2) Ketetapan-ketetapan MPRS 1966 dan selanjutnya
(3) Pengetahuan umum
tentang PBB.
Dalam
Kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib untuk SMA.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan korelasi, artinya mata
pelajaran PKn dikorelasikan dengan mata pelajaran lain, seperti Sejarah
Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan Ekonomi, sehingga mata
pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara menjadi lebih hidup, menantang, dan
bermakna.
Kurikulum
Sekolah tahun l968 akhirnya mengalami perubahan menjadi Kurikulum Sekolah Tahun
1975. Nama mata pelajaran pun berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila dengan
kajian materi secara khusus yakni menyangkut Pancasila dan UUD 1945 yang
dipisahkan dari mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi. Hal-hal yang
menyangkut Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri dengan nama Pendidikan Moral
Pancasila (PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran Sejarah, Ilmu Bumi dan
Ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (lPS).
Pada
masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP ditujukan untuk membentuk
manusia Pancasilais. Tujuan ini bukan hanya tanggung jawab mata pelajaran PMP
semata. Sesuai dengan Ketetapan MPR, Pemerintah telah menyatakan bahwa P4
bertujuan membentuk Manusia Indonesia Pancasilais. Pada saat itu, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) telah mengeluarkan Penjelasan Ringkas
tentang Pendidikan Moral Pancasila (Depdikbud, 1982), dan mengemukakan beberapa
hal penting sebagai berikut.
“Pendidikan Moral Pancasila (PMP) secara konstitusional mulai dikenal
dengan adanya TAP MPR No. lV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
dan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4). Dengan adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Paneasila (P4), maka materi PMP didasarkan pada isi
P4 tersebut. Oleh karena itu, TAP MPR No. II/ MPR/1978 merupakan penuntun dan
pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat serta bernegara. Selanjutnya TAP MPR No. II/MPR?1978
dijadikanlah sumber, tempat berpijak, isi, dan evaluasi PMP. Dengan demikian,
hakikat PMP tiada lain adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal.
Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat
diadakan usaha pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran. “... dalam rangka
menyesuaikan Kurikulum 1975 dengan P4 dan GBHN 1978, ... mengusahakan adanya
buku pegangan bagi murid dan guru Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) ... usaha itu yang telah menghasilkan
Buku Paket PMP...."
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
(l) P4 merupakan sumber dan tempat
berpijak, baik isi maupun cara evaluasi mata pelajaran PMP melalui pembakuan
kurikulum 1975;
(2) melalui Buku Paket PMP untuk semua jenjang pendidikan di
sekolah maka Buku Pedoman Pendidikan Kewargaan Negara yang berjudul Manusia dan
Masyarakat Baru lndonesia (Civics)
dinyatakan tidak berlaku lagi;
(3) bahwa P4 tidak hanya diberlakukan untuk
sekolah-sekolah tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya melalui berbagai
penataran P4.
Sesuai dengan perkembangan iptek dan tuntutan serta kebutuhan masyarakat,
kurikulum sekolah mengalami perubahan menjadi Kurikulum 1994. Selanjutnya nama
mata pelajaran PMP pun mengalami perubahan menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) yang terutama didasarkan pada ketentuan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pada ayat 2 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa isi kurikulum
setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat:
(1) Pendidikan
Pancasila;
(2) Pendidikan Agama;
(3) Pendidikan Kewarganegaraan.
Pasca Orde Baru sampai saat ini, nama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan kembali mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat diidentifikasi dari dokumen mata pelajaran PKn (2006) menjadi mata pelajaran PPKn (2013).
Sebagaimana telah diuraikan
di atas, bahwa secara historis, PKn di Indonesia senantiasa mengalami perubahan
baik istilah maupun substansi sesuai dengan perkembangan peraturan perundangan,
iptek, perubahan masyarakat, dan tantangan global. Secara sosiologis, PKn
Indonesia sudah sewajarnya mengalami perubahan mengikuti perubahan yang terjadi
di masyarakat. Secara politis, PKn Indonesia akan terus mengalami perubahan
sejalan dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, terutama
perubahan konstitusi
Sumber : Ditjen Belmawa KEMENRISTEKDIKTI 2016
halaman(11-17)
If you have any views on the current political situation, send them to us for publication! For more information, visit our website here https://pilpres2024wrd.wordpress.com/
BalasHapus