Mengapa Diperlukan Integrasi Nasional

Sebelumnya
Anda telah menelusuri pengertian, konsep, definisi-definisi tentang integrasi
nasional. Anda juga telah menelaah jenis-jenis integrasi nasional dan
pentingnya integrasi nasional.
Apakah
integrasi bisa berarti pembauran atau penyatuan?
Apakah
istilah nasional bisa disamakan dengan istilah bangsa?
Dalam hal integrasi bangsa, sebenarnya hal-hal apakah yang
diintegrasikan itu?
Mengapa
setiap bangsa memerlukan integrasi?
Apa yang
terjadi seandainya negara tidak berintegrasi?
Seperti
apakah negara yang tidak mampu berintegrasi?
Adakah contoh–contoh negara yang tidak mampu melakukan integrasi?
Adakah contoh-contoh negara yang telah mampu melakukan integrasi?
Adakah
pertanyaan yang lain? Jika ada, ajukan pertanyaan-pertanyaan sejenis untuk
memperkaya penelurusan dan pengkajian Anda tentang konsep integrasi nasional.
Menggali Sumber Historis,
Sosiologis, Politik tentang Integrasi Nasional



Mengintegrasikan bangsa
umumnya menjadi tugas pertama bagi negara yang baru merdeka. Hal ini
dikarenakan negara baru tersebut tetapmenginginkan agar semua
warga yang ada di dalam wilayah negara bersatu untuk negara yang bersangkutan.
Apakah bangsa Indonesia pernah mengalami integrasi sebelum merdeka tanggal 17
Agustus 1945?
Perkembangan sejarah integrasi
di Indonesia

Menurut
Suroyo (2002), ternyata sejarah menjelaskan bangsa kita sudah mengalami
pembangunan integrasi sebelum bernegara Indonesia yang merdeka. Menurutnya, ada
tiga model integrasi dalam sejarah perkembangan integrasi di Indonesia, yakni
1) model integrasi imperium Majapahit, 2) model integrasi kolonial, dan 3)
model integrasi nasional Indonesia.
a. Model
integrasi imperium Majapahit

Model
integrasi pertama ini bersifat kemaharajaan (imperium) Majapahit. Struktur
kemaharajaan yang begitu luas ini berstruktur konsentris. Dimulai dengan
konsentris pertama yaitu wilayah inti kerajaan (nagaragung): pulau Jawa dan
Madura yang diperintah langsung oleh raja dan saudara-saudaranya. Konsentris
kedua adalah wilayah di luar Jawa (mancanegara dan pasisiran) yang merupakan
kerajaan-kerajaan otonom. Konsentris ketiga (tanah sabrang) adalah
negara-negara sahabat di mana Majapahit menjalin hubungan diplomatik dan
hubungan dagang, antara lain dengan Champa, Kamboja, Ayudyapura (Thailand).
b. Model
integrasi kolonial

Model
integrasi kedua atau lebih tepat disebut dengan integrasi atas wilayah Hindia
Belanda baru sepenuhnya dicapai pada awal abad XX dengan wilayah yang terentang
dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah kolonial mampu membangun integrasi
wilayah juga dengan menguasai maritim, sedang integrasi vertikal antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibina melalui jaringan birokrasi
kolonial yang terdiri dari ambtenaar-ambtenaar
(pegawai) Belanda dan pribumi yang tidak memiliki jaringan dengan massa rakyat. Dengan kata lain pemerintah tidak
memiliki dukungan massa yang berarti. Integrasi model kolonial ini tidak mampu
menyatukan segenap keragaman bangsa Indonesia tetapi hanya untuk maksud
menciptakan kesetiaan tunggal pada penguasa kolonial.
c. Model
integrasi nasional Indonesia

Model
integrasi ketiga ini merupakan proses berintegrasinya bangsa Indonesia sejak
bernegara merdeka tahun 1945. Meskipun sebelumnya ada integrasi kolonial, namun
integrasi model ketiga ini berbeda dengan model kedua. Integrasi model kedua
lebih dimaksudkan agar rakyat jajahan (Hindia Belanda) mendukung pemerintahan
kolonial melalui penguatan birokrasi kolonial dan penguasaan wilayah.
Integrasi
model ketiga dimaksudkan untuk membentuk kesatuan yang baru yakni bangsa Indonesia
yang merdeka, memiliki semangat kebangsaan (nasionalisme) yang baru atau
kesadaran kebangsaan yang baru.
Model integrasi nasional ini diawali dengan tumbuhnya kesadaran berbangsa
khususnya pada diri orang-orang Indonesia yang mengalami proses pendidikan
sebagai dampak dari politik etis pemerintah kolonial Belanda. Mereka mendirikan
organisasi-organisasi pergerakan baik yang bersifat keagamaan, kepemudaan,
kedaerahan, politik, ekonomi perdagangan dan kelompok perempuan. Para kaum
terpelajar ini mulai menyadari bahwa bangsa mereka adalah bangsa jajahan yang
harus berjuang meraih kemerdekaan jika ingin menjadi bangsa merdeka dan
sederajat dengan bangsa-bangsa lain. Mereka berasal dari berbagai daerah dan
suku bangsa yang merasa sebagai satu nasib dan penderitaan sehingga bersatu
menggalang kekuatan bersama. Misalnya, Sukarno berasal dari Jawa, Mohammad
Hatta berasal dari Sumatera, AA Maramis dari Sulawesi, Tengku Mohammad Hasan
dari Aceh.
Dalam
sejarahnya, penumbuhan kesadaran berbangsa tersebut dilalui dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut:
1) Masa Perintis
Masa
perintis adalah masa mulai dirintisnya semangat kebangsaan melalui pembentukan
organisasi-organisasi pergerakan. Masa ini ditandai dengan munculnya pergerakan
Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Kelahiran Budi Utomo diperingati sebagai
Hari Kebangkitan Nasional.
2) Masa
Penegas
Masa
penegas adalah masa mulai ditegaskannya semangat kebangsaan pada diri bangsa
Indonesia yang ditandai dengan peristiwa Sumpah Pemuda tanggal
28 Oktober 1928. Dengan Sumpah Pemuda, masyarakat Indonesia yang beraneka ragam
tersebut menyatakan diri sebagai satu bangsa yang memiliki satu Tanah Air, satu
bangsa, dan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Bangsa Indonesia melalui organisasi pergerakan mencoba meminta kemerdekaan dari
Belanda. Organisasi-organisasi pergerakan yang tergabung dalam GAPI (Gabungan
Politik Indonesia) tahun 1938 mengusulkan Indonesia
Berparlemen. Namun, perjuangan menuntut Indonesia merdeka tersebut tidak
berhasil.
4) Masa Pendobrak
Pada
masa tersebut semangat dan gerakan kebangsaan Indonesia telah berhasil
mendobrak belenggu penjajahan dan menghasilkan kemerdekaan. Kemerdekaan bangsa
Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sejak saat itu bangsa Indonesia
menjadi bangsa merdeka, bebas, dan sederajat dengan bangsa lain. Nasionalisme
telah mendasari bagi pembentukan negara kebangsaan Indonesia modern.
Dari
sisi politik, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan pernyatan bangsa
Indonesia baik ke dalam maupun ke luar bahwa bangsa ini telah merdeka, bebas
dari belenggu penjajahan, dan sederajat dengan bangsa lain di dunia. Dari sisi
sosial budaya, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan “revolusi
integratifnya” bangsa Indonesia, dari bangsa yang terpisah dengan beragam
identitas menuju bangsa yang satu yakni bangsa Indonesia.
Tugas
berat selanjutnya adalah mengintegrasikan segenap unsur di dalam agar
negara-bangsa yang baru ini kokoh, bersatu dan dapat melanjutkan kehidupannya
sebagai satu kesatuan kebangsaan yang baru.
Pengembangan integrasi di
Indonesia

Lalu
bagaimana mengembangkan integrasi nasional sebuah bangsa? Howard Wriggins dalam
Muhaimin & Collin MaxAndrews (1995) menyebut ada lima pendekatan atau cara
bagaimana para pemimpin politik mengembangkan integrasi bangsa. Kelima
pendekatan yang selanjutnya kita sebut sebagai faktor yang menentukan tingkat
integrasi suatu negara adalah :1) Adanya ancaman dari luar, 2) Gaya politik
kepemimpinan, 3) Kekuatan lembaga–lembaga politik, 4) Ideologi Nasional, dan 5)
Kesempatan pembangunan ekonomi.
a. Adanya
ancaman dari luar

Adanya
ancaman dari luar dapat menciptakan integrasi masyarakat. Masyarakat akan
bersatu, meskipun berbeda suku, agama dan ras ketika menghadapi musuh bersama.
Contoh, ketika penjajah Belanda ingin kembali ke Indonesia, masyarakat
Indonesia bersatu padu melawannya.
Suatu
bangsa yang sebelumnya berseteru dengan saudara sendiri, suatu saat dapat
berintegrasi ketika ada musuh negara yang datang atau ancaman bersama yang
berasal dari luar negeri. Adanya anggapan musuh dari luar mengancam bangsa juga
mampu mengintegrasikan masyarakat bangsa itu.
b. Gaya politik kepemimpinan

Gaya politik para pemimpin bangsa dapat menyatukan atau mengintegrasikan
masyarakat bangsa tersebut. Pemimpin yang karismatik, dicintai rakyatnya dan
memiliki jasa-jasa besar umumnya mampu menyatukan bangsanya yang sebelumya
tercerai berai. Misal Nelson Mandela dari Afrika Selatan. Gaya politik sebuah
kepemimpinan bisa dipakai untuk mengembangkan integrasi bangsanya. Adakah
pemimpin kita yang mampu menyatukan seperti ini?
c. Kekuatan lembaga- lembaga politik

Lembaga
politik, misalnya birokrasi, juga dapat menjadi sarana pemersatu masyarakat
bangsa. Birokrasi yang satu dan padu dapat menciptakan sistem pelayanan yang
sama, baik, dan diterima oleh masyarakat yang beragam. Pada akhirnya masyarakat
bersatu dalam satu sistem pelayanan.
d. Ideologi Nasional

Ideologi
merupakan seperangkat nilai-nilai yang diterima dan disepakati. Ideologi juga
memberikan visi dan beberapa panduan bagaimana cara menuju visi atau tujuan
itu. Jika suatu masyarakat meskipun berbeda-beda tetapi menerima satu ideologi
yang sama maka memungkinkan masyarakat tersebut bersatu. Bagi bangsa Indonesia,
nilai bersama yang bisa mempersatukan masyarakat Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila merupakan nilai sosial bersama yang bisa diterima oleh seluruh
masyarakat Indonesia.
Nilai-nilai
bersama tidak harus berlaku secara nasional. Di beberapa daerah di Indonesia
terdapat nilai-nilai bersama. Dengan nilai itu kelompok-kelompok masyarakat di
daerah itu bersedia bersatu. Misal “Pela Gadong” sebagai nilai bersama yang
dijunjung oleh masyarakat Maluku.
e.
Kesempatan pembangunan ekonomi

Jika
pembangunan ekonomi berhasil dan menciptakan keadilan, maka masyarakat bangsa
tersebut bisa menerima sebagai satu kesatuan. Namun jika ekonomi menghasilkan
ketidakadilan maka muncul kesenjangan atau ketimpangan. Orang–orang yang
dirugikan dan miskin sulit untuk mau bersatu atau merasa satu bangsa dengan
mereka yang diuntungkan serta yang mendapatkan kekayaan secara tidak adil.
Banyak kasus karena ketidakadilan, maka sebuah masyarakat ingin memisahkan diri
dari bangsa yang bersangkutan. Dengan pembangunan ekonomi yang merata maka
hubungan dan integrasi antar masyarakat akan semakin mudah dicapai.
Sunyoto Usman (1998)
menyatakan bahwa suatu kelompok masyarakat dapat terintegrasi, apabila:
Masyarakat dapat menemukan dan menyepakati nilai-nilai fundamental yang
dapat dijadikan rujukan bersama.
Jika masyarakat memiliki nilai bersama yang disepakati maka mereka dapat
bersatu, namun jika sudah tidak lagi memiliki nilai bersama maka mudah untuk
berseteru.
Masyarakat terhimpun dalam unit sosial sekaligus, memiliki “cross cutting affiliation” sehingga menghasilkan “cross cutting loyality”.
Jika masyarakat yang berbeda-beda latar belakangnya menjadi anggota
organisasi yang sama, maka mereka dapat bersatu dan menciptakan loyalitas pada
organisasi tersebut, bukan lagi pada latar belakangnya.
Masyarakat berada di atas memiliki sifat saling ketergantungan di antara
unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.
Apabila masyarakat saling memiliki ketergantungan, saling membutuhkan, saling
kerjasama dalam bidang ekonomi, maka mereka akan bersatu. Namun jika ada yang menguasai
suatu usaha atau kepemilikan maka yang lain akan merasa dirugikan dan dapat
menimbulkan perseteruan.
Pendapat
lain menyebutkan, integrasi bangsa dapat dilakukan dengan dua strategi
kebijakan yaitu “policy assimilasionis”
dan “policy bhinneka tunggal ika”
(Sjamsudin, 1989). Strategi pertama dengan cara penghapusan sifat-sifat
kultural utama dari komunitas kecil yang berbeda menjadi semacam kebudayaan
nasional. Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan
hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Apabila
asimilasi ini menjadi sebuah strategi bagi integrasi nasional, berarti bahwa
negara mengintegrasikan masyarakatnya dengan mengupayakan agar unsur-unsur
budaya yang ada dalam negara itu benar-benar melebur menjadi satu dan tidak
lagi menampakkan identitas budaya kelompok atau budaya lokal.
Kebijakan strategi yang sebaiknya dilakukan di
Indonesia
Memperkuat nilai bersama
Membangun fasilitas
Menciptakan musuh bersama
Memperkokoh lembaga politik
Membuat organisasi untuk bersama
Menciptakan ketergantungan ekonomi antar
kelompok
Mewujudkan kepemimpinan yang kuat
Menghapuskan identitas-identitas lokal
Membaurkan antar tradisi dan budaya lokal
Menguatkan identitas nasional
Membangun
fasilitas infrastruktur seperti jalan, gedung pertemuan, lapangan olahraga, dan
pasar merupakan contoh kebijakan penyelenggara negara yang memungkinkan mampu
mengintegrasikan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan masyarakat dari berbagai
latar belakang akan bertemu, berinteraksi dan bekerja sama. Pembangunan
berbagai fasilitas itu bisa dilakukan apabila memiliki sumber pembiayaan yang
cukup. Di negara yang sedang membangun, salah satu sumber utama pembiayaan
negara tersebut adalah pajak yang dipungut dari warga negara.
Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Integrasi Nasional

1. Dinamika integrasi nasional di Indonesia

Sejak
kita bernegara tahun 1945, upaya membangun integrasi secara terus-menerus
dilakukan. Terdapat banyak perkembangan dan dinamika dari integrasi yang
terjadi di Indonesia. Dinamika integrasi sejalan dengan tantangan zaman waktu
itu.
Dinamika itu bisa kita
contohkan peristiswa integrasi berdasar 5 (lima)
jenis integrasi sebagai berikut:
a. Integrasi
bangsa

Tanggal 15
Agustus 2005 melalui MoU (Memorandum of
Understanding) di Vantaa, Helsinki, Finlandia, pemerintah Indonesia
berhasil secara damai mengajak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk kembali
bergabung dan setia memegang teguh kedaulatan bersama Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Proses ini telah berhasil menyelesaikan kasus disintegrasi
yang terjadi di Aceh sejak tahun 1975 sampai 2005.
b. Integrasi
wilayah

Melalui Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, pemerintah Indonesia
mengumumkan kedaulatan wilayah Indonesia yakni lebar laut teritorial seluas 12
mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada
pulau-pulau Negara Indonesia. Dengan deklarasi ini maka terjadi integrasi
wilayah teritorial Indonesia. Wilayah Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah
dan laut tidak lagi merupakan pemisah pulau, tetapi menjadi penghubung
pulau-pulau di Indonesia.
c. Integrasi
nilai

Nilai
apa yang bagi bangsa Indonesia merupakan nilai integratif? Jawabnya adalah Pancasila.
Pengalaman mengembangkan Pancasila sebagai nilai integratif terus-menerus
dilakukan, misalnya, melalui kegiatan pendidikan Pancasila baik dengan mata
kuliah di perguruan tinggi dan mata pelajaran di sekolah. Melalui kurikulum
1975, mulai diberikannya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di
sekolah. Saat ini, melalui kurikulum 2013 terdapat mata pelajaran PPKn. Melalui
pelajaran ini, Pancasila sebagai nilai bersama dan sebagai dasar filsafat
negara disampaikan kepada generasi muda.
d. Integrasi
elit-massa

Dinamika integrasi elit–massa ditandai dengan seringnya pemimpin mendekati
rakyatnya melalui berbagai kegiatan. Misalnya kunjungan ke daerah, temu kader
PKK, dan kotak pos presiden. Kegiatan yang sifatnya mendekatkan elit dan massa
akan menguatkan dimensi vertikal integrasi nasional. Berikut ini contoh
peristiwa yang terkait dengan dinamika integrasi elit massa.
Senin, Presiden Mengunjungi Korban Gempa BENER
MERIAH — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadwalkan akan mengunjungi korban
gempa di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Keinginan Presiden mengunjungi Aceh
disampaikan saat melakukan video conference dengan Posko Tanggap Darurat Gempa
Aceh, Jumat (5/7/2013).
Ia menyebutkan akan mengunjungi korban gempa pada
Senin (7/7/2013) dan kembali ke Jakarta pada Selasa (8/7/2013). “Danrem, saya
akan datang. Yang penting penanganan korban semua dilakukan dengan baik. Jangan
terganggu dengan ageda (kunjungan) saya. Terus kerjakan apa yang sedang
dikerjakan,” ujarnya (ACEHKITA.COM)
e. Integrasi tingkah laku (perilaku integratif).


Mewujudkan
perilaku integratif dilakukan dengan pembentukan lembaga-lembaga politik dan pemerintahan
termasuk birokrasi. Dengan lembaga dan birokrasi yang terbentuk maka
orang-orang dapat bekerja secara terintegratif dalam suatu aturan dan pola
kerja yang teratur, sistematis, dan bertujuan. Pembentukan lembaga-lembaga
politik dan birokrasi di Indonesia diawali dengan hasil sidang I PPKI tanggal
18 Agustus 1945 yakni memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sidang PPKI ke-2
tanggal 19 Agustus 1945 memutuskan pembentukan dua belas kementerian dan
delapan provinsi di Indonesia.
Cobalah Anda
runut kembali peristiwa apa sajakah yang pernah terjadi di Indonesia terkait
dengan dinamika integrasi ini? Peristiwa tersebut bisa berskala nasional maupun
yang bersifat kedaerahan. Kemukakan lima jenis integrasi dan
contoh peristiwanya. Lakukan secara kelompok dan hasilnya dipresentasikan.
2. Tantangan dalam membangun integrasi

Dalam upaya
mewujudkan integrasi nasional Indonesia, tantangan yang dihadapi datang dari
dimensi horizontal dan vertikal. Dalam dimensi horizontal, tantangan yang ada
berkenaan dengan pembelahan horizontal yang berakar pada perbedaan suku, agama,
ras, dan geografi. Sedangkan dalam dimensi vertikal, tantangan yang ada adalah
berupa celah perbedaan antara elite dan massa, di mana latar belakang
pendidikan kekotaan menyebabkan kaum elite berbeda dari massa yang cenderung
berpandangan tradisional. Masalah yang berkenaan dengan dimensi vertikal lebih
sering muncul ke permukaan setelah berbaur dengan dimensi horizontal, sehingga
hal ini memberikan kesan bahwa dalam kasus Indonesia dimensi horizontal lebih
menonjol daripada dimensi vertikalnya.
Terkait dengan
dimensi horizontal ini, salah satu persoalan yang dialami oleh negara-negara
berkembang termasuk Indonesia dalam mewujudkan integrasi nasional adalah
masalah primordialisme yang masih kuat. Titik pusat goncangan primordial
biasanya berkisar pada beberapa hal, yaitu masalah hubungan darah (kesukuan),
jenis bangsa (ras), bahasa, daerah, agama, dan kebiasaan.
Masih besarnya
ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan dapat
menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan,
demonstrasi dan unjuk rasa. Hal ini bisa berpeluang mengancam integrasi
horizontal di Indonesia.
Terkait dengan
dimensi vertikal, tantangan yang ada adalah kesediaan para pemimpin untuk terus
menerus bersedia berhubungan dengan rakyatnya. Pemimpin mau mendengar keluhan
rakyat, mau turun kebawah, dan dekat dengan kelompok-kelompok yang merasa
dipinggirkan.
Tantangan dari
dimensi vertikal dan horizontal dalam integrasi nasional Indonesia tersebut
semakin tampak setelah memasuki era reformasi tahun 1998. Konflik horizontal
maupun vertikal sering terjadi bersamaan dengan melemahnya otoritas
pemerintahan di pusat. Kebebasan yang digulirkan pada era reformasi sebagai
bagian dari proses demokratisasi telah banyak disalahgunakan oleh
kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bertindak seenaknya sendiri. Tindakan
ini kemudian memunculkan adanya gesekan-gesekan antar kelompok dalam masyarakat
dan memicu terjadinya konflik atau kerusuhan antar kelompok. Bersamaan dengan
itu demonstrasi menentang kebijakan pemerintah juga banyak terjadi, bahkan
seringkali demonstrasi itu diikuti oleh tindakan-tindakan anarkis.
Keinginan yang
kuat dari pemerintah untuk mewujudkan aspirasi masyarakat, kebijakan pemerintah
yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, dukungan masyarakat
terhadap pemerintah yang sah, dan ketaatan warga masyarakat melaksanakan
kebijakan pemerintah adalah pertanda adanya integrasi dalam arti vertikal.
Sebaliknya kebijakan demi kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang
tidak/kurang sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat serta penolakan
sebagian besar warga masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menggambarkan
kurang adanya integrasi vertikal. Memang tidak ada kebijakan pemerintah yang
dapat melayani dan memuaskan seluruh warga masyarakat, tetapi setidak-
tidaknya
kebijakan pemerintah hendaknya dapat melayani keinginan dan harapan sebagian
besar warga masyarakat.
Jalinan
hubungan dan kerjasama di antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat,
kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai antara
kelompok-kelompok masyarakat dengan pembedaan yang ada satu sama lain,
merupakan pertanda adanya integrasi dalam arti horizontal. Kita juga tidak
dapat mengharapkan terwujudnya integrasi horizontal ini dalam arti yang
sepenuhnya. Pertentangan atau konflik antar kelompok dengan berbagai latar
belakang perbedaan yang ada, tidak pernah tertutup sama sekali kemungkinannya
untuk terjadi. Namun yang diharapkan bahwa konflik itu dapat dikelola dan
dicarikan solusinya dengan baik, dan terjadi dalam kadar yang tidak terlalu
mengganggu upaya pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat dan pencapaian
tujuan nasional.
Di era
globalisasi, tantangan itu ditambah oleh adanya tarikan global di mana
keberadaan negara-bangsa sering dirasa terlalu sempit untuk mewadahi tuntutan
dan kecenderungan global. Dengan demikian keberadaan negara berada dalam dua
tarikan sekaligus, yaitu tarikan dari luar berupa globalisasi yang cenderung
mangabaikan batas-batas negara-bangsa, dan tarikan dari dalam berupa
kecenderungan menguatnya ikatan-ikatan yang sempit seperti ikatan etnis,
kesukuan, atau kedaerahan. Di situlah nasionalisme dan keberadaan negara
nasional mengalami tantangan yang semakin berat.
Di sisi lain,
tantangan integrasi juga dapat dikaitkan dengan aspek aspek lain dalam
integrasi yakni aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Sumber : Ditjen Belmawa KEMENRISTEKDIKTI 2016
halaman(65-81)
Komentar
Posting Komentar